Friday 12 August 2011

Catatan Perjalanan Mahasiswa UI - Siri Kelapan


Depok Dalam Lipatan Sejarah -Pengalaman ke Pasar Buku Senen

Subuh bening di pagi Sabtu

Duduk termenung ingatkan ibu,

Dulu sehari rasakan seminggu,

kini tak terasa masa berlalu……

Hari-hari yang belalu silih berganti, siang beralih malam, malam beralih pagi, hari beralih minggu, minggu beralih bulan…menyebabkan aku merasakan begitu pantas sekali masa berlalu. Sedar tak sedar sekarang aku telah berada di Kelurahan Beiji, Kabupaten Depok, Jawa Barat hampir 4 bulan. Kalau dulu, airmata sering mengalir bila rasa rindu datang bertandang….rindu teringatkan ayah dan ibu…..rindukan ‘kekasih hati’ takut aku dilupakan…rindu pada kampong yang telah lama ku tinggalkan…..mengenangkan nasib sendiri di perantauan.

Tapi itu tidak lagi hari ini….hati yang sedih sudahlah pulih, bila teman datang bersilih, ibarat luka dapat dipulih, jadi pengubat hati yang sedih, rindu pada kampong sudah ku pulih…kalau dulu ada rasa takut bercampur sedih, tapi kini hatiku sudahlah tak sedih, rasa gembira jadi insan terpilih, disenangi rakan dan keluarga terpilih, hidup di rantau tak lagi rasa tersisih.

Kekosongan sebagai anak rantau terubat apabila aku diterima oleh keluarga Pak Niin Sutrisna dan ibu Aminah (aku sering memanggilnya ibu Ami) tuan punya ‘kost’ tempat aku menyewa seperti anak mereka sendiri. Keluarga Betawi asli ini mempunyai tiga orang puteri mbak Ana sudah berkeluarga, Susi masih SMA kelas 1, Fitri seringku panggil Pipit SMP kelas 2 dan Pauzi sering ku panggil Ogie SD kelas 1. Keluarga ini sudah ku anggap seperti saudara sendiri…sehingga kepada hal-hal makan dan minum setiap hari saja aku diuruskan oleh ibu Ami. Ternyata berada dalam keluarga ini membuatkan aku sedikit sebanyak memahami cara hidup dan budaya Betawi yang suatu ketika dulu mendominasi masyarakat kota Jakarta atau Batavia.

Masyarakat Betawi mempunyai keunikannya yang tersendiri, terutama dari segi dialek petuturan mereka. Cara mereka bertutur sangat berbeza dengan nada bicara orang Jawa maupun orang Sunda yang lebih halus dalam santun tutur bahasanya. “ Emang kamu udeh bener suke dan betah kuliah di sini Sul… ape udeh ndak kangen lagi ame bokap dan nyokap elo di kampong?” suara Pak Niin bertanya pagi itu dengan dialek Betawi membuatkan aku tersenyum dan menganggukkan kepala. “ Kalau gitu udeh…ame kite aje…bapak ame ibu senang kalau kamu betah di sini…kuliahnya yang bener…ntar pulang Malaysia bisa jadi orang gede dah”, antara nasihat Pak Niin setiap kali aku duduk minum kopi di tepi kolam ikan lele dipinggir rumahnnya. Sekali sekala bila mendengarkan cara orang Betawi di sini bertutur, aku jadi teringat kepada tetanggaku yang di kampong yang berasal dari daerah Parit, Perak. Dialek pertuturannya hampir sama….jadi aku merasa tidak terlalu janggal bila mendengar pertuturan seperti itu.

Tiba-tiba aku terfikir…sebagai anak ‘sejarah’ mungkin satu hari nanti aku boleh menghasilkan kajian melihat apakah masyarakat Betawi ini mempunyai pertalian saudara dengan orang Melayu di Parit, Perak. Itu bukan satu yang mustahil….kerana kita adalah bangsa serumpun…mungkin saja ada benarnya…Mungkin saja satu hari nanti kajian seperti ini akan ada, seperti juga kajian tentang penghijrahan orang-orang Jawa ke Selangor seperti yang pernah aku baca ditulis oleh Buyung Adil. Tapi itu masih terlalu jauh….aku masih lagi seorang mahasiswa ‘sejarah’ yang masih mentah…harus masih mencari dan menimba ilmu penuhkan di dada…baru nanti bisa berbicara…agar tidak hanya bersaja…ilmu tak seberapa….nanti siapa tak akan percaya…semua kerja jadinya sia-sia.

Aku bergegas bangun apabila teringat janjiku dengan Riries. Hari ini Riries ingin membawa dan menemani aku ke Pasar Senen. “ Sam, kamu itu kalau mau beli buku yang murah-murah aja, belanja buku itu jangan ke Gedung Gramedia atau Gunung Agung, di sana sangat mahal,” aku masih ingat pesan Riries padaku. Gramedia dan Gunung Agung merupakan syarikat besar yang mempunyai rangkaian gedung menjual pelbagai jenis buku di Indonesia. Memang buku-buku di sini harganya agak mahal, apalagi bagi kami mahasiswa yang mempunyai wang ‘jajan’ yang cukup makan saja. Jadi harus punya alternative yang lain untuk membeli buku, antaranya membeli buku dari kakak-kakak senior atau saja mencari yang lebih murah harganya. Jadi bicara tentang buku murah, tempat yang paling sesuai itu ialah Pasar Senen.

Setelah bersiap aku terus mencapai ‘tas’ dan langsung ke Stasiun UI, tempat aku janji untuk bertemu dengan Riries sebelum berangkat ke Pasar Senen. Sampai di Stasiun UI tepat jam 9.00 pagi, aku lihat kelibat Riries udah siap menunggu di situ. “Kamu gimana Sam, janjinya jam setengah 9 (8.30 pagi), tapi ini udah jam 9 lho...payah nih...’telat’ melulu,” Riries bersuara seperti sedikit kecewa kerana tidak tepat waktu seperti dijanjikan. “Sorry Ries, aku dicegat ama bapak kost tadi…dia ngajak ngopi dulu, jadi aku nemanin aja dulu takut nanti dia ‘ngambek’…bisa-bisa nanti wang kost aku naik lagi bulan depan kalau dia ‘ngambek’,” aku jawab memberi alasan. “hebat elo sekarang ya Sam, bahasa Indonesia kamu udah bagus tu, lumayan udah gak ketara lagu loghat Melayunya,” usik Riries bila dengar jawapan aku sebentar tadi. Memang aku akui sejak dekat dengan keluarga Pak Niin dan selalu bersama teman anak-anak Indonesia, pertuturan bahasa Indonesiaku menjadi sangat lancar.

“Sam, aku udah beli karcis kereta tadi…ntar keretanya sampe jam 9 lewat 15, kita turun di stasiun Gambir, kemudian ambil bajaj langsung aja ke Pasar Senen, kamu okey kan?,” Riries mengatur jadual kami untuk hari ini. Aku angguk saja tanda setuju, sambil itu aku terpesona melihat senyuman yang menampakan keayuan wajahnya. Riries memang sangat manis dan cantik…tak hairan gadis ini adalah ‘primadona’ anak jurusan Sejarah angkatan 89, selain dari Cut Julia (Ipong), Nita Ernawati (Nita), Wiwin, Evi Marliana, Evi Mulia Sari, Fina, Riana yang merupakan kembang di antara kumbang dalam angkatan kami. Aku antara kumbang yang berjaya mendekati Riries ketika itu, sudah tentunya aku adalah antara kumbang yang sangat beruntung sekali saat itu. Sepertinya aku jadi ‘geer’ lagi bila ingatkan saat itu.

Beberapa saat kemudian…kereta api ke jurusan Gambir menyusup masuk ke terminal tempat kami menunggu…Riries menarik tanganku untuk berlari mengejar mencari gerabak yang tidak ramai penumpangnya. Saat itu rata-rata gerabak penuh dan sarat dengan penumpang. Itu sudah menjadi hal yang biasa bila menaiki kereta api ke Jakarta. Akhirnya kami dapat juga menyusup masuk ke gerabak yang walaupun sudah agak penuh sesak dan membuatkan kami terpaksa berhimpit-himpit. “Sam kamu gak apa-apa kan?, jam segini memang rame penumpangnya…tapi lumayan lah, yang penting kita bisa nyampe ke tujuan,” Riries berbisik ke telingaku menerangkan keadaan. Suasana di kereta api membuatkan aku menjadi sangat lemas, setiap kali berhenti di stasiun yang dilalui, aku melihat penumpang semakin bertambah dan kami menjadi semakin berhimpit sehingga hendak bernafas sahaja menjadi sangat sulit. Aku menjadi sangat lega apabila sampai di Stasiun Gambir. Lalu kami cepat-cepat turun dan terus mencari bajaj untuk ke tujuan awal ke Pasar Senen.

Setelah tawar menawar harga dengan abang bajaj, maka akhirnya kami sampai juga di Pasar Senen. Sungguh luar biasa sibuknya di sini…melihat gelagat manusia beraneka ragam membuatkan aku tersenyum sendiri. Lalu Riries membawa aku terus ke ‘pasar buku’ istilah baru bagiku. Sebelumnya kalau sebut pasar aku membayangkan sayur, ikan, daging, barang-barang harian atau saja tempat menjual pakaian murah. Tapi di sini ada ‘pasar buku’, aku teruja sekali untuk melihat bagaimanakah rupanya pasar tersebut.

“Sam, lihat…inilah pasar buku Senen, kamu tinggal nyari dan pilih aja buku yang kamu mahu, apa aja buku ada di sini, pokoknya apa saja buku yang ada di Gramedia dan Gunung Agung pasti ada di sini,” bisik Riries padaku. Melihat persekitaran pasar buku yang cukup luas dan melihatkan lambakan buku yang cukup luar biasa banyaknya mempuatkan aku merasa sangat teruja. Mungkin di sini aku boleh mendapatkan jawapan mengapa anak-anak mahasiswa di sini sangat menyintai buku dan sangat suka membaca. Buku senang kita dapatkan dan kita mempunyai pilihan harga….mau yang mahal ke Gedung Gramedia dan Gunung Agung, mau yang murah kita ke pasar buku Senen. Aku juga dapat mengerti mengapa anak-anak di sini lebih suka membeli buku sendiri dari meminjam di perpustakaan.

Pemandangan di Pasar Buku Senen ini tak ubah seperti Pasar Chow Kit atau juga pasar sekitar Masjid India dan pasar Lorong Raja Laut yang menjadi kunjungan orang-orang di kota Kuala Lumpur untuk mencari pakaian murah. Tapi lain di Pasar Senen, di sini yang ada adalah lambakan buku-buku, dalam segala macam judul, dalam segala macam disiplin ilmu dan sentiasa riuh dengan tawar menawar kerana pembeli inginkan harga yang rendah. “Buku di sini banyaknya ‘buku-buku bekas’ (buku-buku lama) atau juga ada buku-buku yang dicetak secara tidak sah, maksud aku ‘klon’ dari buku yang diterbitkan secara sah, tapi isinya sama, persis sekali gak ada bedanya,” Riries memberi penjelasan melihat aku mengerut dahi kehairanan melihat lambakkan buku seperti lautan di sini. Satu yang sangat menarik, harga-harga buku di sini juga sangat murah, ada harganya yang hanya sekitar 30% malah ada yang 15% dari harga dengan buku yang sama di Gramedia atau juga di Gunung Agung. Itu belum lagi buku yang dijual secara borong bila kita membeli dengan jumlah yang banyak.

Berada di Pasar Senen membuatkan masa yang berlalu sungguh tak terasa lamanya. Aku hari itu memilih buku seperti lagaknya ingin membuka mini perpustakaan di rumah. Apa lagi sebenarnya aku membelajakan wang buku yang diberikan dalam biasiswaku. Di sini aku merasakan betapa membeli buku itu sangat-sangat puas dan ‘berbaloi’. Aku tak perlu berfikir panjang, kerana harga buku tak seberapa berbanding dengan ilmu yang bakal aku timba. Buku akan lebih bermakna dari membeli celana yang akan lusuh terbuang nantinya. Buku akan jadi khazanah berharga, kuwariskan nanti pada anak-anak dan keluarga….biar mereka tahu nilainya…buku sebagai pencetus minda….bina manusia ke mercu jaya…menjadi pemimpin peneraju bangsa.

Samsul Kamil Osman

13 Ogos 2011.

No comments: